PENDAHULUAN
Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologis mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama. Cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan hidup itu. Serta kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.
Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan keadaan tentang masyarakat lengkap dengan struktur lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya sosiologis dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologis.
Sosiologi juga dapat dimanfaatkan dalam melakuka pendekatan pendidikan, karena pendidikan tak lepas dari proses interaksi antara individu satu dengan yang lain, guru dengan muridnya, guru dengan teman sprofesi disekolah, sehingga dapat membentuk sebuah tatanan masyarakat sekolah yang itu merupakan bagian dari interaksi sosial kemasyarakatan.
Dalam kesempatan kali ini saya sebagai pemakalah akan mencoba membahas tentang pendidikan, dalam lingkup budaya serta hubungannya dengan perubaha sosial. dan berharap kepada rekan-rekan sekelas di Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam di IPTIQ untuk bisa melengkapi kekurangan dan lain-lain melalui proses diskusi.
PEMBAHASAN
Sosiologi dan Pendidikan
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Sosilogi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Empiris, adalah ciri utama sosiologi sebagai ilmu.
b. Teoretis, adalah peningkatan fase penciptaan tadi yang menjadi salah satu bentuk budaya yang bisa disimpan dalam waktu lama dan dapat diwariskan pada generasi muda.
c. Komulatif, sebagai akibat dari penciptaan terus-menerus sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori-teori itu akan berkomulasi mengarah kepada teori yang lebih baik.
d. Nonetis, karena teori itu menceritakan apa adanya tentang masyarakat beserta individu-individu di dalamnya, tidak menilai apakah hal itu baik atau buruk.
Untuk mewujudkan cita-cita pendidikan sangat membutuhkan bantuan sosiologi. Konsep atau teori sosiologi memberi petunjuk kepada guru-guru tentang bagaimana seharusnya mereka membina para siswa agar mereka bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab sesama teman. Sosiologi dala pendidikan meliputi :
(1) interaksi guru-siswa,
(2) dinamika kelompok di kelas dan di organisasi intra sekolah,
(3) struktur dan fungsi sistem pendidikan, dan
(4) sistem-sistem masyarakat dan pengaruhnya terhadap pendidikan.
Dalam sosiologi, perilaku manusia bertalian dengan nilai-nilai. Sosiologi berpandangan bahwa perilaku itu tidak bebas, melainkan mengikuti pola yang kontinu dan pola itu yang sebagai pengatur perilaku adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat. Secara garis besar ada empat sumber nilai, yaitu norma-norma, agama, peraturan dan perundang-undangan, dan pengetahuan. Sekolah-sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai ini pada anak-anak di sekolah.
Wuradji mengatakan (1) sekolah sebagai kontrol sosial, yaitu untuk memperbaiki kebiasaan-kebiasaan jelek pada anak-anak kala di rumah maupun di masyarakat dan (2) sekolah sebagai pengubah sosial, yaitu untuk menyeleksi nilai-nilai, menghasilkan warga negara yang baik, dan menciptakan ilmu serta teknologi baru.
Kebudayaan dan Pendidikan
Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan,1989) Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia :
a.Penerus keturunan dan pengasuh anak
b.Pengembangan kehidupan berekonomi
c.Transmisi budaya
d.Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha esa
e.Pengendalian sosial
Perubahan kebudayaan disebabkan oleh beberapa hal dianataranya:
· Originasi atau penemua-penemua baru
· Difusi atau percampuran budaya baru dengan budaya lama
· Reinterpretasi atau modifikasi kebudayaan agar sesuai dengan keadaan zaman
PENDIDIKAN DALAN PENDEKATAN BUDAYA
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Didalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tempat sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dari generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.
Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganut dari sumber agama.
Pertama Islam harus dipelajari dari sumber daya yang asli, yaitu Al-Qur’an dan al Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengarah dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan al Sunnah atau melalui pengenalan dari sumber kitab.
Kedua; Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak sebagian saja, memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.
Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar karena zu’ama’ dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dengan pengalaman yang indah dan praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.
Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologi yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada dalam pada daratan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an dengan Islam yang ada pada daratan historis, sosiologis, dan empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
Hanya melalui penalaran kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan, dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang, dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES PEWARISAN BUDAYA
Pendidikan yang dalam basa arab berasal dari kata Rabba-yurabbi Tarbiyyatan, dan addaba yuaddibu Ta’diiban : yang artinya adalah membentuk manusia yang berkakhak dan beradab, bukan yang biadab, sebagai mana termaktub dalam dasar negera Indonesia Pancasila pasal yang kedua “ kemanusiaan yang adil dan beradab”
kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat beradaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
PENDIDIKAN SEBAGAI PROSES BUDAYA
Pendidikan merupakan proses budaya, karena itu ia tumbuh dan berkembang dalam alur kebudayaan setiap masyarakatnya[1]
Indonesia harus memiliki Strategi Kebudayaan dengan melihat kekuatan dan kelemahan Sumber Daya atau modal yang dimiliki bangsa ini. Dengan Strategi Keudayaan, pembangunan ekonomi yang sedang dilaksanakan harus bersinergi dengan karakter bangsa. Dengan Strategi Kebudayaan pula kita memprioritaskan sumber daya alam, budaya, manusia, sosial dan spiritual, sehingga mampu menjawab tantangan globalisasi ekonomi, globalisasi Tekonologi-informasi-komunikasi, globalisasi Budaya serta globalisasi Nilai-nilai & etika. [2]
Pengaruh yang sangat kuat dari globalisasi ekonomi sampai pada euforia liberalisasi ekonomi, telah ditafsiri dengan cara memposisikan urusan budaya oleh birokrasi pemerintahan kita "bersimbiose dengan pikiran dagang komoditi pariwisata" kemudian lahirlah jabang bayinya yang bernama Kementrian Pariwisata dan Budaya. Semoga tidak kepleset dengan "good-bye kebudayaan" dari rumah pendidikan, seperti "good- bye"nya Depdikbud menjadi Depdiknas yang tereliminir budayanya. (Darsana Setiawan)
Sudah umum dianggap bahwa pendidikan merupakan sarana yang sangat penting bagi seseorang untuk sukses dalam usaha mobilitas vertikal untuk mencapai strata sosial yang lebih tinggi. Sementara itu penyelengaraan pendidikan dewasa ini di manapun di dunia didominasi oleh lembaga raksasa bernama sekolah. Saking kuatnya dominasi itu hingga mayoritas masyarakat merasa sekolah merupakan satu-satunya tempat yang paling kredibel bagi orang-orang muda dalam memperoleh ilmu.
Oleh sebab itu sekolah juga mendapat tempat yang istimewa dalam pemikiran tiap orang dalam usahanya meraih tangga sosial yang lebih tinggi. Sedemikian istimewanya hingga sekolah telah menjadi salah satu ritus yang harus dijalani orang-orang muda yang hendak mengubah kedudukannya dalam susunan masyarakat. Mudah diduga bahwa jalan pikiran seperti itu secara logis mengikuti satu kanal yang menampung imajinasi mayoritas mengalir menuju sebuah muara, yakni credo tentang sekolah sebagai kawah condrodimuko tempat agen-agen perubahan dicetak.
Pandangan di atas sama sekali tidak baru. Juga akan sangat berlebihan bila menganggap ide seperti itu sebagai suatu terobosan sebab tak akan lebih dari botol baru untuk kecap yang sama. Dalam konteks Indonesia ide tentang sekolah sebagai tempat dicetaknya agen-agen perubahan adalah pandangan lama yang sudah ada setidaknya pada pengembangan sekolah rakyat yang dipimpin Tan Malaka. Pada masanya salah seorang legenda pergerakan nasional itu menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) di Semarang. Di sekolahnya, Tan Malaka merekrut anak-anak rakyat jelata, mendidiknya dengan disiplin yang khas dan mengajarkan ketangkasan berpikir dan ketrampilan kerja tangan yang cukup praktis untuk hidup. Ia ajarkan baca tulis, ilmu berhitung dan tentu saja bahasa.
Tindakan Tan Malaka sebagai guru, intelektual yang berpengaruh sekali pada masa itu, tentu tidak berasal dari ruang kosong sebagaimana dia sendiri tidak muncul goib sebagai deus ex machina. Kesadarannya tentang arti penting pendidikan bagi anak-anak rakyat jelata, atau anak-anak si Kromo menurut istilahnya, tumbuh dari keadaan masyarakat tempat dia bergelut dengan seribu macam kesusahan dan tertawa karena beberapa kesukaan. Perasaan masyarakat waktu itu dicekam oleh hantu kemiskinan yang luas dan kebodohan yang merata.
Bahwa sebab pokok, yang harus dihapuskan, dari dua masalah tersebut adalah penjajahan tentu ia sadari. Dalam batas periode historis itu ia memilih mencerdaskan anak-anak miskin. Dia pilih pencerdasan daripada aksi-aksi politik sebab kekuatan-kekuatan historis untuk perjuangan politik belumlah tersedia cukup. Dipilihnya anak-anak si Kromo daripada anak-anak para pegawai birokrasi Belanda karena merekalah yang mengalami malangnya nasib manusia terjajah. Lagipula toh para pegawai itu sudah mempunyai tempat untuk sekolah anak-anak mereka, yakni sekolah-sekolah ciptaan Belanda yang bertujuan mencetak tenaga-tenaga bagi mesin birokrasi negara.
Berbeda dari keadaan semasa awal pergerakan nasional sekolah dewasa ini beranak-pinak dalam dunia yang konstelasi kekuatan di dalamnya kian beragam. Perubahan sosial, misalnya, tak mungkin lagi digerakkan hanya oleh sejenis borjuis di Eropa abad 17 – 18 melawan kaum feodal, atau oleh kelas buruh yang ingin mengakhiri semacam masyarakat borjuis di abad 19 untuk kemudian menciptakan masyarakat nir kelas, atau oleh para petani kecil yang mencita-citakan suatu land-reform. Juga lebih tak mungkin lagi keyakinan bahwa perubahan hanya dimotori oleh kaum profesional yang merasa diri bebas dan kritis.
Masyarakat sipil terdiri dari aneka kekuatan dan gerakan yang membawa dampak perubahan di sana dan di sini. Di Indonesia, misalnya, feminisme berhasil menggolkan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Sukses yang sangat kecil ini bisa berdampak luas secara sosial bila telah berhasil mewarnai pembaharuan-pembaharuan dalam kebijakan publik. Alasannya terang. Jika keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, tak akan mengejutkan kalau perubahan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga akan menembus ke ruang publik dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik di tingkat negara sekalipun.
Meskipun demikian, civil society atau masyarakat warga akan berjuang pada batas-batasnya sehingga tak perlu keterlaluan menggantungkan asa padanya. Sikap demikian sama seperti keadaan di mana kita tak lagi bisa terlalu percaya pada negara yang ada untuk rakyat meskipun ia dikuasai oleh rezim yang lolos seleksi secara sangat demokratis. Serupa dengan itu adalah tanggapan kita yang tetap kritis terhadap korporasi yang dengan kekuatan modalnya berusaha memperbaiki diri atau sekedar memoles citra sosialnya dengan seabrek program corporate social responsibility.
SEKOLAH SEBAGI AGEN PERUBAHAN (AGENT OF CHANGES)
Sekola yang dengan kelebihannya sebagai bagian dari wilayah sosial mempunyai misi yang sangat besar dalam perubahan budaya dan sosial, sekolah dengan pemberian materi-materi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini secara sekup nasional, sangat mempengaruhi pola pikir dan kreatifitas.
Adalah hak setiap lembaga dalam masyarakat untuk menganggap diri sebagai agen perubahan tetapi keyakinan seperti itu harus pula dijauhkan dari keinginan dirinya sendiri untuk menjadi satu-satunya the choosen agent of changes yang percaya mutlak bahwa dirinya merupakan penegak hukum-hukum sejarah yang dipercaya dapat dijadikan prediktor perubahan sosial dengan presisi tinggi.
Esensi dari sekolah adalah pendidikan dan pokok perkara dalam pendidikan adalah belajar. Oleh sebab itu tujuan sekolah terutama adalah menjadikan setiap murid di dalamnya lulus sebagai orang dengan karakter yang siap untuk terus belajar, bukan tenaga-tenaga yang siap pakai untuk kepentingan industri. Dalam arus globalisasi dewasa ini perubahan-perubahan berlangsung dalam tempo yang akan makin sulit diperkirakan. Cakupan perubahan yang ditimbulkan juga akan makin sulit diukur. Pengaruhnya pada setiap individu juga makin mendalam dan tak akan pernah dapat diduga dengan akurat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sedemikian pesat. Ekonomi mengalami pasang dan surut berganti-ganti sulit diprediksi. Konstelasi kekuatan-kekuatan politik juga berubah-ubah. Kita tak lagi hidup dengan anggapan lama tentang dunia yang teratur harmonis. Sebaliknya setiap individu sekarang menghadapi suatu keadaan yang cenderung tak teratur. Kecenderungan chaos seperti ini harus dihadapi dan hanya dapat dihadapi oleh orang-orang yang selalu siap untuk belajar hal-hal baru. Bukanlah mereka yang bermental siap pakai yang akan dapat memanfaatkan dan berhasil ikut mengarahkan perubahan-perubahan kontemporer melainkan mereka yang pikirannya terbuka dan antusias pada hal-hal baru.[3]
PENUTUP.
Dari penjabaran diantas dapatlah diambil kesimpulan bahwa antara pendidikan, budaya dan dan perubahan sosial mempunyai hubungan yang erat. Pendidikan sebagai proses budaya, yang mana suatu budaya atau kebudayaan akan terus berkembang dan tetap hidup dari zaman kezaman karena adanya proses transfer kebudayaan, kebudayaan yang baik akan bisa berlansung apabila kebudayaan tersebut diajarkan kepada anak cucu atau generasi selanjutnya sebagai ranah pendidikan.
Pendidikan juga beruhubangan erat dengan tingkat perubaha sosial, paradigma sosial yang berkembang, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan sutau bangsa maka semakin baik taraf sosialnnya, baik dari sudut kesejahteraan maupun pola berfirkir masyarakatnya.
Walahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment