Saturday, 28 May 2011

PENDIDIKAN DALAM MENEGAKKAN MORALITAS BANGSA


I.                    MUKADIMAH
Pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia sebenarnya bagus dan sangat respektif dengan dinamika sosial budaya bangsa, serta ditunjang percepatan pembangunan baik sektor informal maupun sektor formal. Namun demikian kita sayangkan keadaan yang demikian dihambat dengan perilaku pejabat yang kebetulan dapat dikatakan menempati tempat yang basah, dengan sangat rendahnya moral pancasila, sebagai pondasi pembangunan bangsa Indoneisa.
Peristiwa bank cenurty, korupsi yang terjadi di kalangan pejabat Pajak Indoneisa, cukup mencengangkan seluruh bangsa Indonesia, betapa sakit hatinya rakyat Indoneisa yang di khianati oleh mereka yang kebetulan dipercaya oleh rakyat, perampokan, perampasan harta rakyat terjadi di mana-mana, mulai dari kasus Korupsi beberapa bupati di Indoneisa, beberapa Gubenur, pegawai-pegawai Pajak, serta masih banyak lagi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang mengutamakan kepetingan pribadi atau golongan, masih ada juga pengkhianat rakyata di beberapa oknum anggota DPR, ada yang sudah diseret di pengadilan ada yang dalam proses, bahkan ada yang belum ketahuan.
Dengan demikian untuk menghambat perilaku menuju korupsi perlu adanya meninjau kembali sistem pendidikan di Indoneisa, dimana pada umumnya pendidikan di Indonesia hanya menekankan kearah kognitifnya saja, dengan mengeksploitasi otak sebelah kiri, sehingga kurang berfungsinya otak sebeleah kanan. Jadilah manusia-manusia robot Indoneisa.
Bahkan kalau kita melihat robot, berjalan tanpa mempunyai persaan, yang ada hanya perintah dan hasil semata tanpa memperdulikan orang lain. Bangsa Indonesia kehilangan jati diri, kenapa karena pendidikan dikikis terus seolah-olah tidak penting untuk menyongsong kemajuan bangsa Indonesia dimasa yang akan datang. Ketika Pendidikan Moral Pancasila di galakan dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Ke Perguruan Tinggi, hasil berikutnya lumayan, mereka masih tahu unggah-ungguh dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya. Ketika Pendidikan Moral Pancasila dihapus, diganti materi yang bersifat meterialistis semata, yaitu diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, maka setiap manusia hanya dapat mengambil kepentingan pribadinya, kepentingan keluarga, golongan tanpa memperhatikan kepentingan bangsa dan negara.
II. PEMBAHASAN
a.      Pengertian Pendidikan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah : “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.[1]  Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.[2] Muhammad Natsir dalam tulisannya ideology Islam, menulis : “Yang dinamakan didikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[3]
Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[4] Jamin Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa “pendidikan ialah pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui laihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.

b.      Pendidikan Islam

Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama, kata, raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata, rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata, raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada ayat di bawah ini :
“….dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mreka keduanya sebagaimana ereka berdua telah mendidik aku waktu keccil” (QS al-Isra’ : 24)
Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan
“bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah pada ayat tersebut di atas, adalah, pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak, masa anak sangat bergantung pada kasih sayang keluarga. Dengan demikian, pengertian yang digali dari kata tarbiyah terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang diberikan sesudah mada itu tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan”.[5]
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan Islam ialah ta’lim. Jalal, salah seorang yang menawarkan istilah ini, mengemukakan konsep pendidikan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Pengertian ini digali dari firman Allah SWT yang menyatakan sebagai berikut :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Nahl : 78)
Pengembangan fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab orang tua ketika anak masih kecil. Setelah dewasa, hendaknya orang belajar secara mandiri sampai ia tidak mampu lagi meneruskan belajarnya, baik karena meninggal dunia maupun usia tua renta. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotori dan afeksi.
Istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.
Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi SAW, sesuai dengan sabda beliau :
“Tuhanku telah mendidikku, maka baguslah adabku”
Berdasarkan konsep adab tersebut di atas al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut :
“Pengasuhan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan potensi”.
Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang dikenali; dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenali.
Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula seklaigus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal; informal dan nonformal.
Secara lebih spesifik, M. Yusuf al-Qurdlowi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :
“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapimasyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk engisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[6]
Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Muhammad SAW. Melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Endang Saefuddin Anshori memberikan pengertian pendidikan Islam adalah, proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan kemauan, intuisi dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kea rah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[7]
Dari pengertian-pengertian pendidikan Islam yang berbeda-beda tersebut di atas, dapatlah penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien, sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dan untuk mencapai kehidupan ukhrowi yang bahagia.

c.       Pengertian Moral

Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[8]
 Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[9]
Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :
  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
  3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.
Dalam terminology Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan. [10]
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.[11]   Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.[12]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.
                                                                                                      
d. Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti halnya perubahan manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.

d.      Pendidikan moral bangsa
Pendidikan moral sangat dibutuhkan oleh pelajar generasi ini. Bukan hanya pelajar tapi dibutuhkan oleh masyarakat dunia terutama Indonesia. Sekarang di wadah pendidikan baik itu di universitas maupun di sekolah, sepertinya pendidikan moral di kebelakangkan, di kantungi bahkan ada yang menaruhnya di dalam bak sampah. Apa gunanya mendidik intelek tanpa mendidik moral? Apakah tenaga pengajar sekarang ingin menjadikan bangsa ini intelek, kalau masalah pintar intelek binatang kalau di ajar juga bisa. Apakah tenaga pengajar sekarang ingin menjadikan bangsa kita sebagai bangsa liberalis? Membentuk manusia individu yang duduk di atas muka manusia social, menduduki wajah para pendahulu?
Jika ada seorang bertanya kepada saya, “Mana yang kau pentingkan, moral atau intelek?” Saya jelas akan memilih moral. Tapi tak ada yang salah untuk memilih keduanya. Belum lama ini merebak video asusila yang diperagakan oleh artis indonesia. Kenapa sampai ada video seperti ini? Kalau bukan karena hilangnya moral bangsa. Sebenarnya walaupun jutaan maupun triliyunan video porno merebak di tanah air, tak akan berpengaruh jika jika bangsa ini mempunya moral yang kuat. Walupun mereka, si pembuat video porno mengetahui peraturan yang berlaku di tanah air, mengetahui kalau perbuatannya itu melanggar UU, norma maupun agama, tapi tak ada artinya jika seseorang tau peraturan tapi tak tau aturan. Jika pendidikan moral di negeri ini diterapkan seperti penerapan pendidikan intelektual, mungkin Indonesia bisa merdeka, “merdeka yang sebenar-benarnya!” Agar pelajar, khususnya generasi muda bisa mendapatkan pendidikan moral, diperlukan tenaga pengajar yang mempunyai moral dan intelektual yang baik.
Jika para guru bangsa sudah bermoral dan inteleknya tak diragukan lagi, tinggal mentransfer ilmu intelektual dan moralnya kepada para anak didiknya. Tapi guru seperti petani, hanya bisa memaksimalkan pertumbuhan tanamannya. Tak bisa mengubah sifat dasar tanaman/ tumbuhan. Contohnya, seorang petani tak bisa memanen buah rambutan dari benih durian. Seorang guru tak akan bisa mengubah sifat dasar seseorang. Guru itu hanya bisa memaksimalkan kemampuan dan mengarahkan tujuan para anak didiknya. Dan cara yang paling efektif dalam pembinaan moral adalah dengan system pengajaran yang berbasis kudwah. Jadikan guru sebagai kudwah hasanah bagi anak-anak didik mereka. Dengan kata lain bahwa sebelum membina anak-anak angsa kita harus siapkan guru-guru yang menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak mulia.
Generasi muda juga seharusnya bekerja keras, karena kelak mereka akan menjadi tiang penyangga sang saka, merah putih Indonesia, menggantikan tiang yang sudah rapuh. Dalam hal menyangga sang saka, pengetahuan di perlukan agar sang saka bisa ditempatkan di tempat yang layak. Sedangkan moral di butuhkan agar sebagai tiang penyangga tidak mudah rapuh. Belum lagi sekarang jutaan, bahkan miliyaran telur rayap telah menetas. Jadi sulit mempertahankan kekokohan tiang penyangga. Tapi tetaplah kembangkan moralmu! Perbanyak ilmumu! Kobarkan semangat! Semangat patriotis! Semangat nasionalis! Semangat generasi muda! Semangat yang bermoral! Semangat generasi pembawa perubahan![13]
e.      Peran pendidikan islam dalam penegakan moral bangsa
Pemberdayaan pendidikan yang berbasis moralitas terintegrasi perlu dukungan semua elemen bangsa yang memiliki kepedulian terhadapnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan pendidikan Islam untuk memelihara, membina, membimbing, dan mengembangkan nilai moral Islami yang terintegrasi dalam membangun moral bangsa. Berkenaan dengan uraian ini, Malik Fajar menyatakan bahwa beberapa permasalahan mendasar ketika akan mengadakan rencana strategi pengembangan pendidikan Islam, yaitu:
  1. stigma keterpurukan bangsa, yang berakibat kurangnya rasa percaya diri;
  2. eskalasi konflik, pada satu sisi merupakan unsur dinamika sosial, tetapi disisi lain mengancam harmoni bahkan integrasi sosial, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.
  3. krisis moral dan etika, yang melanda kehidupan bangsa kita dalam berbagai tataran administratif pemerintahan pusat atau daerah dan berbagai sektor negara maupun swasta; dan
  4. pudarnya identitas bangsa, terutama berhadapan dengan hegemoni kekuatan dunia yang unggul baik adari aspek politik, sosial, maupun kultural. Meskipun sebenarnya dalam tata hubungan global diperlakukan prinsip interdependensi di antara negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia, tetapi komitmen politik bebas aktif mulai canggung, kesatuan dan persatuan bangsa ( budaya dan sosial) mengalami keretakan-keretakan.[14]
dari persoalan dasar di atas, penulis berpendapat bahwa pendidikan agama Islam di sekolah atau di masyarakat perlu diorientasikan pada;
  1. pengembangan sumber daya insani ( SDI) yang berwatak, berkarakter, bermartabat, dan beradab. Sebab, krisis dekadensi moral bangsa dapat dibina dan dipulihkan dengan tersedianya SDI yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual;
  2. pendidikan agama Islam perlu diorientasikan pada pendidikan multikultural yang bertauhid. Artinya, pendidikan agama Islam diarahkan pada toleransi terhadap deferensiasi sosial yang ada seperti ras, suku bangsa, agama, sosial, dan budaya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip tauhid seperti yang tercermin dalam Surat al-Kafirun, 109:1-6;
  3. membangun moralitas yang terintegrasi dengan seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia sebagai misi utama Rasulullah Saw dalam menyempurnakan akhlak manusia; dan
  4. melakukan moralisasi watak kebangsaan, termasuk moralisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang karakter dan beradab.
  5. Pembiasaan spirit moralisasi dalam perilaku keseharian, baik di lingkungan sekolah, masyarakat, bangsa dan Negara.

III. KESIMPULAN
Krisis multi-dimensional yang dihadapi bangsa dan kehidupan manusia yang berujung pada dekadensi moralnya, sebenarnya akibat dari sistem pendidikan sekuler yang terpisah dari spirit moralitas. Moralitas agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan tidak memiliki relevansi dengan masalah-masalah kehidupan, seperti dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, negara, kekuasaan, jabatan, dsb. Akibatnya, masalah-masalah kehidupan ini berdiri sendiri yang terlepas dari spirit moralitas. Hal ini akan membentuk manusia-manusia sekular yang kering dari spirit moralitas agama. Akibatnya, manusia menghalalkan segala secara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab, tiada lagi halal atau haram baginya.
Spirit moralitas yang dibangun oleh Pendidikan Islam ( pendidikan agama Islam ) adalah spirit moralitas yang terintegrasi. Artinya, spirit moralitas yang terpadu dengan masalah-masalah bangsa dan kehidupan manusia lainnya, seperti dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, negara, kekuasaan, jabatan, dan peran atau status sosial lainnya. Sekularisasi moralitas adalah bertentangan dengan pendidikan Islam yang memiliki prinsip tauhid.
Moralitas yang terintegrasi akan mampu membangun moral bangsa dan kehidupan manusia yang berwatak, berkarakter, dan beradab sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Sebab, dengan moralitas terintegrasi ini akan melahirkan manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Selain itu, ia juga bukan hanya saleh secara individual, tapi juga saleh secara sosial.


Saran-Saran
    1. Membangun dan mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam yang berbasis moralitas terintegrasi, baik dari segi tujuan, materi-ajar, metode, media, lingkungan, guru-siswa, dan evaluasi pembelajaran.
    2. Melakukan spiritulisasi moral agama pada setiap pengetahuan umum yang masih sekular.
    3. Melakukan dan membiasakan perilaku moral terintegrasi dalam keseharian, baik di lingkungan sekolah, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
    4. Pentingnya supervisi pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Wallahu a’lam bisshawaab..



IV. REFERENSI

1.      Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)
2.      Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954)
3.      A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4
4.      Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung Diponegoro, 1988), cet. Ke-1.
5.      Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980)
6.      Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), cet ke-1
7.      Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12
8.      Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2
11.  http://mulyaihza.blogspot.com
12.  http://edukasi.kompasiana.com


[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42
[2]  Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42
[3] M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87
[4] A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19
[5] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung Diponegoro, 1988), cet. Ke-1, h. 28-29
[6] Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), h. 94
[7] Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), cet ke-1 h. 85
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 192
[9] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12,
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, h. 195
[11] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56
[12] Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h
[14]. Malik Fajar, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan sebagai Keynote Address dalam Seminar on Islam and The Challengges of Global Education in the New Millenium, The IIUM Alumni Chapter of Indonesia di Pekan Baru, tanggal 26 Januari 2003.

0 comments:

Post a Comment