Sebagian pegiat legalisasi
homoseksual dan lesbianisme, tampaknya menjadikan Nabi Luth a.s. sebagai
sasaran kebencian dan umpatan mereka. Al-Quran memang menggambarkan
perjuangan Nabi Luth a.s. yang begitu berat dalam menghadapi kemunkaran
yang dikerjakan kaumnya, sehingga Nabi Luth diusir dari kampungnya.
Al-Quran menggambarkan perjuangan Nabi Luth sebagai berikut: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya:
“Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian
mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita;
malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain
hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami
selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada
mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Di dalam Surat Hud ayat 82 dikisahkan: “Maka
tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di
atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari
tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”
Kerusakan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).
Dalam Tafsir Al-Azhar,
Prof. Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum
Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka
sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih
rendah martabatnya dibandingkan binatang.
Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw.: “…
dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki,
maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak
mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).
Hamka menulis dalam Tafsirnya
tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat
Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar
seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang
’mendatangi’ dan ’didatangi’ itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan kedua orang itu wajib dijatuhi hukuman mati.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).
Bisa digambarkan, betapa gundah dan marahnya kaum homo dan lesbi beserta para pendukungnya, terhadap sosok Nabi Luth yang mencoba menghentikan budaya syahwat merdeka pada kaum liberal di masa itu. Sebuah situs http://www.savethe males.ca, pada 16 Oktober 2004, menulis berita tentang Irshad Manji dengan judul ”Lesbian Muslim Reformer is a New World Orderly.” Ditulis: ”Muslim ”reformer” and lesbian activist Irshad Manji, 35, symbolizes the globalist push to extinguish true religion and enslave humanity.”
Tentang akitivitas Irshad Manji dalam mendukung dan mempromosikan lesbianisme bisa dilihat dalam situsnya: www.irshadmanji.com.
Kaum liberal pun membanggakannya sebagai sosok ”lesbian” yang – katanya
– gigih melakukan ijtihad. Seorang aktivis liberal membanggakan Irshad
Manji dengan menulis judul artikel dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Ditulis di jurnal ini: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Sebuah contoh gugatan terhadap
sosok Nabi Luth a.s. ditunjukkan oleh sekumpulan mahasiswa Fakultas
Syariah IAIN Semarang yang menerbitkan Jurnal JUSTISIA. Pada Edisi 25, Th XI, 2004, diturunkan laporan utama berjudul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dengan gagahnya, redaksi menulis pengantar: “Hanya
orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu
yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun
dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis.
Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah
berhasil bahkan kebablasan.”
Selanjutnya, artikel-artikel di Jurnal itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual”, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Disebutkanlah strategi ke arah legalisasi perkawinan sesame jenis (homo dan lesbi), yaitu: (1)
mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut
hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada
masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah
sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak
mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung
setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan
kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep
pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan
perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus
antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15).
Hina Nabi lecehkan al-Quran
Para penyokong gerakan legalisasi homoseksual ini
berani membuat tafsir baru atas ayat-ayat al-Quran, dengan membuat
tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth. Seorang penulis dalam buku ini,
misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk
kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin
agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan
ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku
bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan
homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat
al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari
faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya
dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks.
Ditulis dalam buku ini sebagai berikut : ‘’Karena keinginan
untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa.
Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth
bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth.
Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap
mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth
menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut?
Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi
kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena
tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang
salah terhadap kaum homo.” (hal. 39).
Cercaan terhadap Nabi Luth dan al-Quran terus dilanjutkan berikut ini: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama
jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama
jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari
kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri
Luth, seperti cerita al-Quran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun
Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya
kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut
ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa
wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat
tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan
dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan terkesan
mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi
bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia
misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana
apa-apa.” (hal. 41-42).
****
Para mahasiswa tersebut – saat itu – sedang menimba
ilmu di sebuah Perguruan Tinggi yang menyandang nama Islam, juga nama
“Walisongo” (IAIN Walisongo Semarang). Para Wali itu
adalah penyebar dan pendakwah Islam yang sangat gigih di Tanah Jawa.
Wali Songo tidak bermain-main dalam masalah agama. Para Wali Songo bersikap tegas terhadap penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar.
Di dalam tradisi keilmuan Islam, sangat ditekankan masalah adab, bukan hanya kebebasan berpikir dan berbicara. Tiap
manusia harus memahami adab bicara. Pemain bola di Eropa ada yang
dihukum karena bicara bernada rasis. Seorang anak juga tidak bebas
bicara kepada orang tuanya dengan – misalnya – bertanya kepada ayahnya:
“Ayah, benarkah saya anak ayah? Tolong buktikan secara ilmiah!”
Adab juga menekankan sikap “tahu diri”. Tidak
gampang bicara dan menulis sesuka hati, tanpa merujuk kepada pendapat
para ulama yang punya otoritas tafsir ilmu al-Quran. Di dalam tiap
bidang keilmuan, kita mengakui adanya otoritas. Tidak semua manusia bebas bicara dalam soal keilmuan. Contohnya,
pelawak Thukul dan Prof. Mahfud MD sama-sama manusia. Tetapi, nilai
kata-kata keduanya tidaklah sama saat bicara tentang arti pasal-pasal
dalam UUD 1945. Dalam bidang ekonomi, begitu juga. Kita
mengakui ada otoritas keilmuan dari para pakar ekonomi yang sudah diakui
tingkat keilmuannya oleh komunitas ilmuwan internasional di bidang
tersebut. Dalam bidang Fisika, kita akan tertawa geli jika ada mahasiswa
baru belajar rumus-rumus dasar fisika lalu berterak-teriak, bahwa
Newton, Einstein, Stephan Hawking, Habibie, ternyata bodoh semua!
Adalah suatu kehancuran besar, jika adab keilmuan ini tidak ditegakkan dalam bidang Ulumuddin. Jika
kita mengakui al-Quran adalah Kitab wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, maka logikanya pasti kita mengakui, bahwa manusia yang
paling memahami al-Quran adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Nabi SAW
menunjuk sejumlah sahabatnya yang beliau sebut sangat ahli dalam Tafsir
al-Quran, seperti Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud. Berikutnya, muncul
para ahli tafsir al-Quran dari kalangan Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan seterusnya.
Sebagaimana dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Fisika,
dan sebagainya, Ilmu Tafsir juga merupakan ilmu yang sudah sangat
matang perkembangannya dalam tradisi keilmuan Islam. Begitu juga Ilmu
Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Kalam. Jika
hendak belajar Tafsir al-Quran, seharusnya orang mau merujuk kepada
ilmuwan atau ulama yang memahami Ilmu Tafsir al-Quran.
Jika ditelaah dengan sedikit cermat
saja, tampak bahwa Irshad Manji bukanlah orang yang punya otoritas
memadai dalam pemahaman al-Quran. Itu bisa dilihat dalam bukunya, ”Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini”, yang bisa di-unduh di situsnya. Dalam buku ini, Irshad
Manji, menyandarkan keraguannya terhadap al-Quran pada pendapat
Christoph Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang
menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji: ”Jika al-Quran dipengaruhi
budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa al-Quran
meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah
diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah
diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi
kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat
salah dipahami?” (hal. 96).
Pendapat Christoph Luxenberg menyatakan
bahwa selama ini umat Islam salah memahami al-Quran, yang seharusnya
dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis Manji menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam al-Quran. Menurut
riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas
pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana
bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya.
Pendapat Luxenberg yang
dicomot begitu saja oleh Irshad Manji bahwa bahasa al-Quran harus
dipahami dalam bahasa Aramaik telah ditulis dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat
Luxenberg pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang
menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara
tajam dalam bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Intelektual”.
Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan
seminar terbuka tentang karya Luxeberg itu selama satu semester penuh
di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan
sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk
mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk
pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8
Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad
ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!
Jadi, penghormatan berlebihan
terhadap Irshad Manji, merusak dua hal sekaligus: otoritas keilmuan
Islam dan juga asas-asas akhlak Islam. Kita yakin, masih banyak ulama,
cendekiawan, dan kalangan umat Islam yang sadar dan cinta akan agamanya.
Kita cinta negeri kita, sehingga kita berharap, negeri Muslim terbesar
ini tidak menjadi tong sampah pemikiran! Wallaahu a’lam bil-shawab.
Sumberl: http://adianhusaini.com
(Dr. Adian Husaini, MA. Depok, 5 Mei 2012).
0 comments:
Post a Comment