Slide 1

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan*Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.*Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. *Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.*Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-Alaq:1-5)

Slide 2

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Mujadilah:11)

Slide 3

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.(Q.S Ali Imran 83)

Slide 4

Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS Az Zumar: 9)

Slide 5

Dan bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Saturday 28 May 2011

PENDIDIKAN DALAM MENEGAKKAN MORALITAS BANGSA


I.                    MUKADIMAH
Pertumbuhan perekonomian bangsa Indonesia sebenarnya bagus dan sangat respektif dengan dinamika sosial budaya bangsa, serta ditunjang percepatan pembangunan baik sektor informal maupun sektor formal. Namun demikian kita sayangkan keadaan yang demikian dihambat dengan perilaku pejabat yang kebetulan dapat dikatakan menempati tempat yang basah, dengan sangat rendahnya moral pancasila, sebagai pondasi pembangunan bangsa Indoneisa.
Peristiwa bank cenurty, korupsi yang terjadi di kalangan pejabat Pajak Indoneisa, cukup mencengangkan seluruh bangsa Indonesia, betapa sakit hatinya rakyat Indoneisa yang di khianati oleh mereka yang kebetulan dipercaya oleh rakyat, perampokan, perampasan harta rakyat terjadi di mana-mana, mulai dari kasus Korupsi beberapa bupati di Indoneisa, beberapa Gubenur, pegawai-pegawai Pajak, serta masih banyak lagi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang mengutamakan kepetingan pribadi atau golongan, masih ada juga pengkhianat rakyata di beberapa oknum anggota DPR, ada yang sudah diseret di pengadilan ada yang dalam proses, bahkan ada yang belum ketahuan.
Dengan demikian untuk menghambat perilaku menuju korupsi perlu adanya meninjau kembali sistem pendidikan di Indoneisa, dimana pada umumnya pendidikan di Indonesia hanya menekankan kearah kognitifnya saja, dengan mengeksploitasi otak sebelah kiri, sehingga kurang berfungsinya otak sebeleah kanan. Jadilah manusia-manusia robot Indoneisa.
Bahkan kalau kita melihat robot, berjalan tanpa mempunyai persaan, yang ada hanya perintah dan hasil semata tanpa memperdulikan orang lain. Bangsa Indonesia kehilangan jati diri, kenapa karena pendidikan dikikis terus seolah-olah tidak penting untuk menyongsong kemajuan bangsa Indonesia dimasa yang akan datang. Ketika Pendidikan Moral Pancasila di galakan dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Ke Perguruan Tinggi, hasil berikutnya lumayan, mereka masih tahu unggah-ungguh dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya. Ketika Pendidikan Moral Pancasila dihapus, diganti materi yang bersifat meterialistis semata, yaitu diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan, maka setiap manusia hanya dapat mengambil kepentingan pribadinya, kepentingan keluarga, golongan tanpa memperhatikan kepentingan bangsa dan negara.
II. PEMBAHASAN
a.      Pengertian Pendidikan
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan ialah : “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.[1]  Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”.[2] Muhammad Natsir dalam tulisannya ideology Islam, menulis : “Yang dinamakan didikan, ialah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya”.[3]
Ahmad D. Marimba mengajukan definisi pendidikan sebagai berikut : “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.[4] Jamin Shaliba dari lembaga bahasa Arab Damaskus mengemukakan bahwa “pendidikan ialah pengembangan fungsi-fungsi psikis melalui laihan sehingga mencapai kesempurnaannya sedikit demi sedikit”.

b.      Pendidikan Islam

Di dalam Islam terdapat tiga istilah pendidikan yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Istilah tarbiyah berakar pada tiga kata. Pertama, kata, raba yarbu, yang berarti bertambah atau tumbuh. Kedua, kata, rabia yarba, yang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata, raba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga dan memelihara Firman Alah yang mendukung istilah tarbiyah antara lain terdapat pada ayat di bawah ini :
“….dan ucapkanlah, wahai Tuhanku, kasihilah mreka keduanya sebagaimana ereka berdua telah mendidik aku waktu keccil” (QS al-Isra’ : 24)
Abdul Fatah Jalal, ahli pendidikan dari Universitas al-Azhar, mengatakan
“bahwa yang dimaksud dengan tarbiyah pada ayat tersebut di atas, adalah, pendidikan yang berlangsung pada fase pertama pertumbuhan manusia, yaitu fase bayi dan kanak-kanak, masa anak sangat bergantung pada kasih sayang keluarga. Dengan demikian, pengertian yang digali dari kata tarbiyah terbatas pada pemeliharaan, pengasuhan dan pengasihan anak manusia pada masa kecil. Bimbingan dan tuntunan yang diberikan sesudah mada itu tidak lagi termasuk dalam pengertian pendidikan”.[5]
Istilah lain yang digunakan untuk menunjuk konsep pendidikan Islam ialah ta’lim. Jalal, salah seorang yang menawarkan istilah ini, mengemukakan konsep pendidikan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut, ta’lim adalah proses pembelajaran secara terus menerus sejak manusia lahir melalui pengembangan fungsi-fungsi pendengaran, penglihatan dan hati. Pengertian ini digali dari firman Allah SWT yang menyatakan sebagai berikut :
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur”. (Q.S. al-Nahl : 78)
Pengembangan fungsi-fungsi tersebut merupakan tanggung jawab orang tua ketika anak masih kecil. Setelah dewasa, hendaknya orang belajar secara mandiri sampai ia tidak mampu lagi meneruskan belajarnya, baik karena meninggal dunia maupun usia tua renta. Proses ta’lim tidak berhenti pada pencapaian pengetahuan dalam wilayah kognisi semata, tetapi terus menjangkau wilayah psikomotori dan afeksi.
Istilah ta’dib untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam ditawarkan oleh al-Attas. Istilah ini berasal dari kata adab dan pada pendapatnya, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat tingkatannya serta tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmani, intelektual, maupun rohani seseorang. Dengan demikian ini, kata adab mencakup pengertian ilmu dan amal.
Kata ta’dib dinyatakan sebagai cara Tuhan dalam mendidik Nabi SAW, sesuai dengan sabda beliau :
“Tuhanku telah mendidikku, maka baguslah adabku”
Berdasarkan konsep adab tersebut di atas al-Attas mendefinisikan pendidikan sebagai berikut :
“Pengasuhan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan potensi”.
Pengenalan berarti menemukan tempat yang tepat sehubungan dengan yang dikenali; dan pengakuan berarti tindakan yang bertalian dengan itu (amal), yang lahir sebagai akibat menemukan tempat yang tepat dari apa yang dikenali.
Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula seklaigus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal; informal dan nonformal.
Secara lebih spesifik, M. Yusuf al-Qurdlowi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :
“Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya, karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapimasyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya”.
Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk engisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[6]
Di sini pendidikan Islam merupakan suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT, kepada Muhammad SAW. Melalui proses di mana individu dibentuk agar dapat mencapai derajat yang tinggi sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai kholifah di muka bumi, yang dalam kerangka lebih lanjut mewujudkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Endang Saefuddin Anshori memberikan pengertian pendidikan Islam adalah, proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan kemauan, intuisi dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada kea rah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[7]
Dari pengertian-pengertian pendidikan Islam yang berbeda-beda tersebut di atas, dapatlah penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Islam suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien, sesuai dengan kaidah-kaidah Islam dan untuk mencapai kehidupan ukhrowi yang bahagia.

c.       Pengertian Moral

Ada beberapa istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menunjukkan maksud yang sama, istilah moral, akhlak, karakter, etika, budi pekerti dan susila. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “moral” diartikan sebagai keadaan baik dan buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti dan susila. Moral juga berarti kondisi mental yang terungkap dalam bentuk perbuatan. Selain itu moral berarti sebagai ajaran Kesusilaan.[8]
 Kata morla sendiri berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan.[9]
Dengan demikian pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya sebagai berikut :
  1. Moral sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan jelekyang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
  2. Moral sebagai aturan, berarti ketentuan yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah termasuk baik atau sebaliknya buruk.
  3. Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.
Dalam terminology Islam, pengertian moral dapat disamakan dengan pengertian “akhlak” dan dalam bahasa Indonesia moral dan akhlak maksudnya sama dengan budi pekerti atau kesusilaan. [10]
Kata akhlak berasal dari kata khalaqa (bahasa Arab) yang berarti perangai, tabi’at dan adat istiadat. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabi’at) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih. Akhlak menurutnya adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam.[11]   Apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan baik, maka perbuatan demikian disebut akhlak baik. Demikian sebaliknya, jika perbuatan yang ditimbulkannya perbuatan buruk, maka disebut akhlak jelek.
Pendapat lain yang menguatkan persamaan arti moral dan akhlak adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia.[12]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang mendasar antara akhlak dan moral. Keduanya bisa dikatakan sama, kendatipun tidak dipungkiri ada sebagian pemikir yang tidak sependapat dengan mempersamakan kedua istilah tersebut.
                                                                                                      
d. Perubahan Moralitas dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti halnya perubahan manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.

d.      Pendidikan moral bangsa
Pendidikan moral sangat dibutuhkan oleh pelajar generasi ini. Bukan hanya pelajar tapi dibutuhkan oleh masyarakat dunia terutama Indonesia. Sekarang di wadah pendidikan baik itu di universitas maupun di sekolah, sepertinya pendidikan moral di kebelakangkan, di kantungi bahkan ada yang menaruhnya di dalam bak sampah. Apa gunanya mendidik intelek tanpa mendidik moral? Apakah tenaga pengajar sekarang ingin menjadikan bangsa ini intelek, kalau masalah pintar intelek binatang kalau di ajar juga bisa. Apakah tenaga pengajar sekarang ingin menjadikan bangsa kita sebagai bangsa liberalis? Membentuk manusia individu yang duduk di atas muka manusia social, menduduki wajah para pendahulu?
Jika ada seorang bertanya kepada saya, “Mana yang kau pentingkan, moral atau intelek?” Saya jelas akan memilih moral. Tapi tak ada yang salah untuk memilih keduanya. Belum lama ini merebak video asusila yang diperagakan oleh artis indonesia. Kenapa sampai ada video seperti ini? Kalau bukan karena hilangnya moral bangsa. Sebenarnya walaupun jutaan maupun triliyunan video porno merebak di tanah air, tak akan berpengaruh jika jika bangsa ini mempunya moral yang kuat. Walupun mereka, si pembuat video porno mengetahui peraturan yang berlaku di tanah air, mengetahui kalau perbuatannya itu melanggar UU, norma maupun agama, tapi tak ada artinya jika seseorang tau peraturan tapi tak tau aturan. Jika pendidikan moral di negeri ini diterapkan seperti penerapan pendidikan intelektual, mungkin Indonesia bisa merdeka, “merdeka yang sebenar-benarnya!” Agar pelajar, khususnya generasi muda bisa mendapatkan pendidikan moral, diperlukan tenaga pengajar yang mempunyai moral dan intelektual yang baik.
Jika para guru bangsa sudah bermoral dan inteleknya tak diragukan lagi, tinggal mentransfer ilmu intelektual dan moralnya kepada para anak didiknya. Tapi guru seperti petani, hanya bisa memaksimalkan pertumbuhan tanamannya. Tak bisa mengubah sifat dasar tanaman/ tumbuhan. Contohnya, seorang petani tak bisa memanen buah rambutan dari benih durian. Seorang guru tak akan bisa mengubah sifat dasar seseorang. Guru itu hanya bisa memaksimalkan kemampuan dan mengarahkan tujuan para anak didiknya. Dan cara yang paling efektif dalam pembinaan moral adalah dengan system pengajaran yang berbasis kudwah. Jadikan guru sebagai kudwah hasanah bagi anak-anak didik mereka. Dengan kata lain bahwa sebelum membina anak-anak angsa kita harus siapkan guru-guru yang menjunjung tinggi nilai moral dan akhlak mulia.
Generasi muda juga seharusnya bekerja keras, karena kelak mereka akan menjadi tiang penyangga sang saka, merah putih Indonesia, menggantikan tiang yang sudah rapuh. Dalam hal menyangga sang saka, pengetahuan di perlukan agar sang saka bisa ditempatkan di tempat yang layak. Sedangkan moral di butuhkan agar sebagai tiang penyangga tidak mudah rapuh. Belum lagi sekarang jutaan, bahkan miliyaran telur rayap telah menetas. Jadi sulit mempertahankan kekokohan tiang penyangga. Tapi tetaplah kembangkan moralmu! Perbanyak ilmumu! Kobarkan semangat! Semangat patriotis! Semangat nasionalis! Semangat generasi muda! Semangat yang bermoral! Semangat generasi pembawa perubahan![13]
e.      Peran pendidikan islam dalam penegakan moral bangsa
Pemberdayaan pendidikan yang berbasis moralitas terintegrasi perlu dukungan semua elemen bangsa yang memiliki kepedulian terhadapnya. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengembangan pendidikan Islam untuk memelihara, membina, membimbing, dan mengembangkan nilai moral Islami yang terintegrasi dalam membangun moral bangsa. Berkenaan dengan uraian ini, Malik Fajar menyatakan bahwa beberapa permasalahan mendasar ketika akan mengadakan rencana strategi pengembangan pendidikan Islam, yaitu:
  1. stigma keterpurukan bangsa, yang berakibat kurangnya rasa percaya diri;
  2. eskalasi konflik, pada satu sisi merupakan unsur dinamika sosial, tetapi disisi lain mengancam harmoni bahkan integrasi sosial, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional.
  3. krisis moral dan etika, yang melanda kehidupan bangsa kita dalam berbagai tataran administratif pemerintahan pusat atau daerah dan berbagai sektor negara maupun swasta; dan
  4. pudarnya identitas bangsa, terutama berhadapan dengan hegemoni kekuatan dunia yang unggul baik adari aspek politik, sosial, maupun kultural. Meskipun sebenarnya dalam tata hubungan global diperlakukan prinsip interdependensi di antara negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia, tetapi komitmen politik bebas aktif mulai canggung, kesatuan dan persatuan bangsa ( budaya dan sosial) mengalami keretakan-keretakan.[14]
dari persoalan dasar di atas, penulis berpendapat bahwa pendidikan agama Islam di sekolah atau di masyarakat perlu diorientasikan pada;
  1. pengembangan sumber daya insani ( SDI) yang berwatak, berkarakter, bermartabat, dan beradab. Sebab, krisis dekadensi moral bangsa dapat dibina dan dipulihkan dengan tersedianya SDI yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual;
  2. pendidikan agama Islam perlu diorientasikan pada pendidikan multikultural yang bertauhid. Artinya, pendidikan agama Islam diarahkan pada toleransi terhadap deferensiasi sosial yang ada seperti ras, suku bangsa, agama, sosial, dan budaya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip tauhid seperti yang tercermin dalam Surat al-Kafirun, 109:1-6;
  3. membangun moralitas yang terintegrasi dengan seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia sebagai misi utama Rasulullah Saw dalam menyempurnakan akhlak manusia; dan
  4. melakukan moralisasi watak kebangsaan, termasuk moralisasi berbagai aturan hidup untuk membangun bangsa yang karakter dan beradab.
  5. Pembiasaan spirit moralisasi dalam perilaku keseharian, baik di lingkungan sekolah, masyarakat, bangsa dan Negara.

III. KESIMPULAN
Krisis multi-dimensional yang dihadapi bangsa dan kehidupan manusia yang berujung pada dekadensi moralnya, sebenarnya akibat dari sistem pendidikan sekuler yang terpisah dari spirit moralitas. Moralitas agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan tidak memiliki relevansi dengan masalah-masalah kehidupan, seperti dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, negara, kekuasaan, jabatan, dsb. Akibatnya, masalah-masalah kehidupan ini berdiri sendiri yang terlepas dari spirit moralitas. Hal ini akan membentuk manusia-manusia sekular yang kering dari spirit moralitas agama. Akibatnya, manusia menghalalkan segala secara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab, tiada lagi halal atau haram baginya.
Spirit moralitas yang dibangun oleh Pendidikan Islam ( pendidikan agama Islam ) adalah spirit moralitas yang terintegrasi. Artinya, spirit moralitas yang terpadu dengan masalah-masalah bangsa dan kehidupan manusia lainnya, seperti dengan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, negara, kekuasaan, jabatan, dan peran atau status sosial lainnya. Sekularisasi moralitas adalah bertentangan dengan pendidikan Islam yang memiliki prinsip tauhid.
Moralitas yang terintegrasi akan mampu membangun moral bangsa dan kehidupan manusia yang berwatak, berkarakter, dan beradab sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Sebab, dengan moralitas terintegrasi ini akan melahirkan manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Selain itu, ia juga bukan hanya saleh secara individual, tapi juga saleh secara sosial.


Saran-Saran
    1. Membangun dan mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam yang berbasis moralitas terintegrasi, baik dari segi tujuan, materi-ajar, metode, media, lingkungan, guru-siswa, dan evaluasi pembelajaran.
    2. Melakukan spiritulisasi moral agama pada setiap pengetahuan umum yang masih sekular.
    3. Melakukan dan membiasakan perilaku moral terintegrasi dalam keseharian, baik di lingkungan sekolah, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
    4. Pentingnya supervisi pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Wallahu a’lam bisshawaab..



IV. REFERENSI

1.      Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994)
2.      Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954)
3.      A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4
4.      Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung Diponegoro, 1988), cet. Ke-1.
5.      Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980)
6.      Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), cet ke-1
7.      Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12
8.      Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2
11.  http://mulyaihza.blogspot.com
12.  http://edukasi.kompasiana.com


[1] Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), h. 42
[2]  Ki Hajar Dewantara, Masalah Kebudayaan : Kenang-kenangan Promosi Doctor Honoris Causa, (Yogyakarta, 1967) h. 42
[3] M. Natsir, Capita Selecta, (Bandung : Gravenhage, 1954), h. 87
[4] A.D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Alma’arif, 1980), cet ke-4, h. 19
[5] Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung Diponegoro, 1988), cet. Ke-1, h. 28-29
[6] Hasan Langgulung, Bebeapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung : al-Ma’arif, 1980), h. 94
[7] Endang Saefuddin Anshori, POkok-pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), cet ke-1 h. 85
[8] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit, h. 192
[9] Singgih Gunarsa, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : PT : BPK Gunung Mulia, 1999) Cet : Ke-12,
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, h. 195
[11] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994) Cet Ke-2, h. 56
[12] Muslim Nurdin, et.al., Moral Islam dan Kognisi Islam, (Bandung : CV. Alabeta, 1993) Cet. Ke-1, h
[14]. Malik Fajar, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan sebagai Keynote Address dalam Seminar on Islam and The Challengges of Global Education in the New Millenium, The IIUM Alumni Chapter of Indonesia di Pekan Baru, tanggal 26 Januari 2003.

Sunday 15 May 2011

Film Tanda Tanya "?"

Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” 
(Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar)
PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda Tanya) pada tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap Muslim, dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film “?”. Sebagai Muslim, saya telah berikrar: "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah." 
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.
Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad saw adalah Tauhid, yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia (QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia.  Syariat Nabi Muhammad saw saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad saw. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun, sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di akal saya, pendapat yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia untuk menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal dan hasrat nafsu manusia.
Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan pasti merupakan agama budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi logis dari syahadat yang saya ikrarkan!
***
Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.
Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan,  BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.  Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku,  “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya yang Muslim pun  awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini.  Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya.  Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar.  Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah. 
Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah,  yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.
Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
***
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai  Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan.  Ini pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.
Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau  kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah. Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan syariat Nabi Musa a.s.
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka.  Iman juga tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir.  “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama  menyembah Tuhan yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)
“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!
Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam --  soal ganti agama, soal keluar dari Islam,  soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan remeh?
***
Syahdan, para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini.  Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer,   dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.”  Nietzsche ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).
Jika direnungkan secara serius,  Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide  dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.  Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun  boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.
Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi.    
Tuhan,  dalam agama Bhairawa Tantra,  memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia.  Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian.  Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?
Jadi, saat  seorang yang mengaku Pluralis  berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”,  maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam.  Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah.  “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis!  Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!  Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”. 
Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi  kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”,  sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain.  Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya  berbeda-beda.  Sebagian  besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.
Lain lagi dengan aliran  “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu  bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,  menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis?  Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka?  Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).
Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang,  dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
***
Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam   Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia  seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran.  Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!
Surya  memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif.  Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”,  Surya menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.
Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”.   Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak!  Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.
Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:  
“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. 
Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur  Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad  s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah.  Nabi tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”   Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!”
Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad saw. Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah….”
Buya Hamka mencatat:  “Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”
Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia.  Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang menyatakan, bahwa  “semua agama adalah jalan kebenaran”,  saat itu dikepalanya telah hilang  konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada  penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr  atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang;  tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia.  Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason.  Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis:  "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!

***
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk.  Dia seorang muslimah, berjilbab pula.  Menuk bekerja di sebuah retoran China.  Bermacam makanan dijual di sana, termasuk  babi.  Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini.  Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas:  inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif  Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi?
Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama.  Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja!  Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud  yang menawan dan menghibur,  ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011 

Dr. Adian Husaini